KEPERAWATAN DASAR : PENYEMBUHAN LUKA
PENYEMBUHAN LUKA
Penyembuhan
merupakan jumlah jaringan yang hidup, disebut juga regenerasi (pembaruan jaringan). Proses penyembuhan dapat
dipertimbangkan terkait jenis penyembuhan,
berkaitan dengan keputusan mengenai pilihan apakah membiarkan luka menutup
sendiri atau melakukan tindakan penutupan, fase penyembuhan, yang merupakan langkah-langkah proses perbaikan
jaringan yang terjadi secara alami dalam tubuh. Setiap luka memiliki fase yang
sama, namun kecepatan penyembuhan bergantung pada factor seperti jenis
penyembuhan, lokasi, dan ukuran luka, serta status kesehatan klien.
JENIS PENYEMBUHAN
LUKA
Luka memiliki dua jenis
penyembuhan berdasarkan jumlah kehilangan jaringan. Proses penyembuhan primer terjadi ketika permukaan jaringan dalam keadaan
saling mendekati (tertutup) dan terdapat kehilangan jaringan
yang minimal atau tidak terdapat keilangan jaringan : dengan karakteristik
adanya pembentukan jaringan granulasi dan jaringan parut yang minimal. Keadaan
ini juga disebut sebagai penyatuan primer
atau penyembuhan pertama. Sebagai
contoh proses penyembuhan luka dengan cara penyembuhan primer adalah pada luka
insisi bedah tertutup. Contoh lain adalah penggunaan penyambung jaringan, “lem”
cair yang dapat digunakan untuk menutup luka robekan yang bersih (King &
Kinney, 2001).
Luka yang luas dan melibatkan
jaringan yang cukup banyak dengan tepi luka yang tidak dapat didekatkan, sembuh
melalui penyembuhan sekunder. Contoh
penyembuhan sekunder pada ulkus dekubitus. Penyembuhan sekunder berbeda dengan
proses penyembuhan primer dalam tiga hal : a. waktu penyembuhan yang lebih
lama, b. luka parut yang terjadi akan lebih besar, dan c. kerentanan terhadap
proses infeksi lebih tinggi.
FASE PENYEMBUHAN
LUKA
Proses
penyembuhan luka terbagi atas tiga fase : Inflamasi, Proliferasi, dan Maturasi
atau Remodeling.
Fase Inflamasi
Fase
Inflamasi dimulai segera setelah cedera dan berlangsung selama 3 sampai 6
hari. Dua proses utama yang terjadi selama fase ini : Hemostasis dan
Fagositosis.
Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah besar
pada area yang terkena, retraksi (penarikan kembali) pembuluh darah yang
cedera, diposisi fibrin (jaringan
ikat), dan pembentukan bekuan darah pada area tersebut. Bekuan darah yang
terbentuk dari platelet darah memberikan matriks fibrin yang akan membentuk
rangka untuk perbaikan sel. Keropeng juga dapat terbentuk pada permukaan luka.
Keropeng yang mengandung bekuan darah dan jaringan mati juga membantu
hemostasis dan menghambat kontaminasi mikroorganisme pada luka. Pada bagian
bawah keropeng ini, sel epitel akan bergerak menuju luka dan tipe luka. Sel
epitel berfungsi sebagai barier antara tubuh dan lingkungan untuk mencegah
masuknya mikroorganisme.
Fase inflamasi juga meliputi respon
vaskular dan seluler yang bertujuan membuang semua zat asing dan jaringan yang
rusak dan mati. Aliran darah ke area luka meningkat, membawa oksigen dan zat
gizi yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka. Akibatnya, area luka
terlihat kemerahan dan bengkak.
Selama perpindahan sel, leukosit
(terutama, netrofil) akan bergerak masuk ke dalam ruang interstisial. Makrofag
yang berasal dari monosit darah akan menggantikan semua leukosit ini dalam 24
jam setelah cedera. Kemudian, semua makrofag tersebut menghancurkan
mikroorganisme dan debris sel melalui sebuah proses yang dikenal sebagai fagositosis. Makrofag juga mensekresi
factor angiogenesis (AGF), yang memicu pembentukan tunas epitel pada pembuluh
darah akhir yang cedera. Jaringan mikrosirkulasi yang terjadi dapat
mempertahankan proses penyembuhan dan luka selama kehidupannya. Respon
inflamasi ini sangat penting dalam proses penyembuhan dan tindakan yang dapat
mengganggu proses inflamasi, seperti obat steroid dapat meningkatkan resiko
pada proses penyembuhan luka.
Fase Proliferasi
Fase Proliferasi, fase kedua dalam proses
penyembuhan, terjadi pada hari ke-3 dan ke-4 sampai hari ke-21 setelah cedera.
Fibroblas (jaringan ikat) yang bermigrasi ke luka dalam 24 jam setelah cedera
mulai mensintesis kolagen. Kolagen
merupakan zat protein berwarna keputihan yang dapat meningkatkan kekuatan
regangan pada luka. Saat jumlah kolagen bertambah, semakin meningkat pula
kekuatan luka, sehingga kemungkinan luka untuk terbuka semakin berkurang.
Apabila luka telah dijahit, “jembatan penyembuhan” akan terlihat dibawah garis
jahitan yang utuh. Kolagen yang beru seringkali dapat terlihat pada luka yang
tidak mengalami penyatuan.
Pembuluh darah kapiler akan tumbuh
melewati luka dan meningkatkan aliran darah. Fibroblas bergerak dari aliran
darah kedalam luka dan menyimpan benang-benang fibrin dalam luka. Saat jaringan
pembuluh darah kapiler terbentuk, jaringan akan terlihat merah cerah. Jaringan
ini disebut jaringan granulasi, yang rapuh dan mudah berdarah.
Apabila tepi luka tidak merapat,
area tersebut akan terisi oleh jaringan granulasi saat jaringan granulasi
matang, sel epitel yang berasal dari bagian tepi luka akan bergerak masuk ke
area jaringan granulasi yang telah matang dan kemudian berpoliferasi di atas
lapisan jaringan ikat ini untuk mengisi daerah luka. Apabila proses epitelisasi
tidak dapat menutup area luka, area luka akan tertutup dengan plasma sel yang
kering dan sel-sel mati. Area ini disebut eskar.
Pada awalnya, luka yang sembuh melalui penyembuhan sekunder drainase luka
bercampur darah (serosanguineus). Setelah itu, apabila sel epitel tidak menutup
area luka, area tersebut akan tertutup oleh jaringan abu-abu yang tebal dan
mengandung benang-benang fibrin yang pada akhirnya berubah menjadi jaringan
parut yang kaku.
Fase Maturasi
Fase Maturasi mulai terjadi sekitar hari ke-21
dan dapat berlangsung selama 1 sampai 2 tahun setelah cedera luka. Kemudian
fibroblas terus mensintesis kolagen. Serat-serat kolagen tersebut, yang pada
awalnya memiliki bentuk yang tidak beraturan akan berubah menjadi struktur
jaringan yang teratur. Selama proses maturasi jaringan, luka akan mengalami
pembaruan bentuk dan kontraksi. Jaringan parut akan menjadi lebih kuat, namun
area yang sedang mengalami perbaikan tidak akan menjadi kuat seperti jaringan
asalnya. Pada beberapa individu, terutama individu yang berkulit gelap, pada
area luka akan muncul kolagen dalam jumlah yang tidak normal. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya jaringan parut yang hipertrofik atau keloid.
Salah satu metode untuk
mendokumentasikan perkembangan proses penyembuhan ulkus dekubitus adalah menggunakan Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH) (National Pressure Ulcer
Advisory Panel [NPUAP], 2002). Instrumen yang valid ini dapat menentukan luas
luka, kedalaman luka, jumlah eksudat, dan jenis jaringan. Perubahan nilai
keseluruhan dalam waktu tertentu dapat digunakan sebagai indikasi penyembuhan.
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Karakteristik
individu seperti usia, status nutrisi, gaya hidup, dan medikasi dapat
memengaruhi kecepatan proses penyembuhan luka.
Pertimbangan Usia
Perkembangan
Anak-anak
dan klien dewasa seringkali mengalami proses yang lebih cepat daripada klien
lansia yang cenderung memiliki berbagai penyakit kronik yang dapat menghambat
penyembuhan luka. Sebagai contoh, penurunan fungsi hati dapat mengganggu
sintesis factor pembekuan darah.
Nutrisi
Proses
penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan metabolisme tubuh. Klien membutuhkan
makanan tinggi protein, karbohidrat, lipid, vitamin A & C, serta mineral,
seperti zat besi, zink, dan tembaga. Jika memungkinkan, klien mengalami malnutrisi
diberikan waktu yang lebih banyak untuk memperbaiki status nutrisi mereka
sebelum menjalani pembedahan. Klien obes lebih berisiko terhadap infeksi luka
dan proses penyembuhan luka yang lambat karena jaringan adipose memiliki aliran
darah yang minimal.
Gaya Hidup
Individu
yang melaksanakan olahraga secara teratur cenderung memiliki sirkulasi darah
yang baik, dan karena darah membawa oksigen dan zat gizi ke area luka, individu
ini dapat mengalami proses penyembuhan luka yang cepat. Merokok dapat mengurangi
jumlah hemoglobin fungsional normal dalam darah, sehingga dapat membatasi
kapasitas darah untuk membawa oksigen serta mengakibatkan penyempitan pembuluh
darah.
Medikasi
Obat-obatan
antiinflamasi (seperti steroid dan aspirin) dan obat anti neoplasma dapat
mengganggu proses penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik dalam waktu yang
panjang akan membuat seseorang menjadi rentan terhadap terjadinya infeksi pada
luka akibat organisme yang resistan terhadap obat.
Diabetes
Penyakit
kronik menyebabkan timbulnya penyakit pembuluh darah kecil yang dapat
mengganggu perfusi jaringan. Diabetes menyebabkan hemoglobin memiliki afinitas
yang lebih besar untuk oksigen, sehingga hemoglobin gagal melepaskan oksigen ke
jaringan.
Hiperglikemia
mengganggu kemampuan leukosit untuk melakukan fagositosis dan juga mendorong
pertumbuhan infeksi jamur dan ragi yang berlebihan.
Radiasi
Proses
pembentukan jaringan parut vascular dan fibrosa akan terjadi pada jaringan
kulit yang tidak teradiasi. Jaringan mudah rusak dan kekurangan oksigen.
Stress Luka
Muntah,
distansi abdomen dan usaha pernapasan dapat menimbulkan stress pada jahitan
operasi dan merusak lapisan luka. Tekanan mendadak yang tidak terduga pada luka
insisi akan menghambat pembentukan sel endotel dan jaringan kolagen.
Faktor Penghambat Penyembuhan Luka pada Lansia
- Perubahan pembuluh darah yang berhubungan dengan penuaan, seperti aterosklerosis dan atrofi pembuluh darah kapiler di kulit, dapat mengganggu aliran darah ke area luka.
- Jaringan kolagen menjadi kurang lentur yang meningkatkan resiko kerusakan akibat penekanan, gaya gesekan, dan gaya robekan.
- Jaringan parut kurang elastis.
- Perubahan dalam system kekebalan tubuh dapat mengurangi pembentukan antibodi dan monosit yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka.
- Defisiensi nutrisi dapat mengurangi jumlah sel darah merah dan leukosit, yang kemudian dapat menghambat penghantaran oksigen dan respon inflamasi yang penting untuk penyembuhan luka. Oksigen sangat dibutuhkan untuk sintesis kolagen dan pembentukan sel epitel yang baru.
- Menyandang diabetes atau penyakit kardiovaskuler dapat meningkatkan resiko perlambatan proses penyembuhan luka akibat gangguan hantaran oksigen ke jaringan tubuh.
- Proses
pembentukan sel baru menjadi lebih lambat, yang menyebabkan proses penyembuhan
luka lebih lambat.
Referensi :
Potter, P.A, Perry, A.G. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Volume 1. Jakarta : Salemba
Medika.
Sangat bermanfaat ditunggu post yg lainnya
BalasHapus